Saturday, August 16, 2008

Ujian Demi Ujian Sampai Bertemu Allah

Ayah dan Ibu kami kerapkali menuturkan kepada kami bahwa mereka tidak pernah lupa mendoakan kami. Ibu juga sering bercerita bahwa jika bangun pada malam hari ia tidak lupa mendoakan putra-putrinya yang berjumlah 12 orang itu satu per satu (tidak lupa menyebut nama-namanya) agar selalu mendapat hidayah Allah dan diberikan keselamatan dunia dan akhirat. Namun tampaknya Allah menjawab doa itu dengan cara yang Ia kehendaki. Saat itu Allah memberikan cobaan demi cobaan di keluarga kami. Saudara kami yang paling tua, bang Haji Ali (begitu kami memanggilnya), mendapatkan cobaan harta benda.

Sebelumnya, bang Haji Ali dikenal sebagai pengusaha yang terbilang sukses di Pulau Kijang. Namun, seketika bang Haji mengalami kebangkrutan.

Abang kami yang kedua, bang Haris, sudah sejak lama membandel dan membebani orang tua dengan berbagai permasalahan yang membuat orang tua kami “murka”. Bahkan abang kami ini pernah menjadi tidak waras. Sejauh ini sudah dicarikan berbagai cara untuk “mengobati” Abang kami yang kami cintai ini. Namun hasilnya nihil. Akan tetapi dengan kegagalan ini, kami menjadi sadar bahwa hidayah bukanlah tugas kami. Abang kami yang ketiga, bang Kasim, juga mengalami depresi karena masalah ekonomi dan keluarganya.
Bang Udin, abang kami yang keempat, sempat terjebak dengan obat-obatan dan berada dalam ujung tanduk perceraian. Bahkan, abang kami ini sempat cuek dengan orang tua, bahkan tidak pernah lagi menginjakkan kakinya di rumah orang tua kami. Namun, ada hal yang lebih memprihatinkan lagi yang terjadi pada saat itu. Adik kami, Ani, ditalaq oleh suaminya, ketika ia sedang hamil besar.

Januari 2006. Yang paling memprihatinkan adalah kondisi ayah kami. Pada masa-masa kritis ini, beliau sedang sakit keras karena sakit jantung dan sesak nafas. Sedangkan saat itu aku sedang siap-siap berangkat ke Australia untuk melanjutkan studi. Sejak saat itu, ayah sering “ngelantur”. Beliau sering mengingatkanku kalau aku pergi jauh beliau takut tak bisa lagi menjumpaiku dan aku tak akan bisa lagi melihatnya tatkala ia akan menghebuskan nafas terakhirnya. Bahkan, ayahku sering menanyakan ke ibuku tentang dimana ia akan dikuburkan.

Saat itu kami menganggap ayah kami hanya bercanda, karena memang ia hobi guyon. Setibanya di Melbourne, aku menelpon ayahku sekadar menanyakan kabar beliau dan mengatakan bahwa aku sudah sampai dengan selamat. Akupun kemudian dapat kabar bahwa ada kemajuan dalam kesehatan beliau. Bahkan, walaupun dalam keadaannya yang lemah itu, ketika adik kami akan melahirkan di sebuah rumah bersalin, ayah kami yang lemah itu sanggup menemani dan menunggu proses kelahiran Ani (yang tidak ditemani suaminya) dari awal hingga akhir. Aku pun lega mendengarnya.

April 2006. Akupun bisa dengan tenang memulai kuliahku. Namun itu tidak berlangsung lama. Baru saja selesasi aku menolehkan kepalaku ke kiri dan ke kanan dan mengucapkan Salam pada saat duduk tasyahuud akhir shalat subuh, HP ku berdering. Ternyata bang Kasim yang nelpon dari Jakarta. Pikirku tumben nih bang Kasim nelpon, soalnya pasti mahal pulsanya. Perasaanku jadi tidak enak, jangan-jangan ada berita penting. Dan dugaanku tidak meleset. Dengan suara berat bang Kasim mengatakan: “Sabar ya Gus, Fuang (panggilan untuk ayah kami) sudah tidak ada lagi!” Aku tersungkur seketika. Tidak disangka, ternyata percakapanku dengan ayahku via telepon tadi merupakan percakapan terakhirku dengan beliau.

Aku baru sadar, bahwa sehari sebelum ayahku meninggal, perasaanku tidak menentu. Aku tidak bisa belajar, tidak nafsu makan, dan rasanya ingin di rumah saja. Ternyata kata-kata ayahku (bahwa ia takut tak dapat lagi menjumpaiku kalau aku pergi kuliah ke Australia) bukanlah “ tong kosong yang nyaring bunyinya”.

Dari seluruh saudaraku, hanya aku yang tidak sempat melihat ayahku untuk terakhir kalinya. Seluruh saudaraku dengan berbagai kesibukannya dan di tempat yang terpisah-pisah (sebagian ada yang di Jakarta), pada hari ayah kami meninggal diberikan Allah kemudahan untuk berkumpul di Pulau Kijang, sebuah kampung di Riau tempat kami lahir dan Ayah kami meninggal. Namun empat hari setelah ayahku meninggal, aku akhirnya dapat tiket pesawat untuk pulang. Alhamdulillah selama perjalanan, Allah mempermudahkan perjalanan ku.

Sesampainya aku di Pulau Kijang, aku berbincang-bincang dengan abang-abangku dan ibuku yang masih dilanda kesedihan. Ibuku menuturkan bahwa seminggu sebelum kepergiannya, ayahku sempat bercerita kepadanya bahwa ia bertemu seorang yang sangat baik yang tidak pernah ia ketemui sebelumnya mengajak dan mentraktirnya untuk minum kopi di warung dekat pelabuhan.

Sambil minum kopi, orang itu menasihati ayahku: “Pak, berpalinglah dari dunia dan hadapilah Tuhanmu…” Ibuku sambil terisak bercerita bahwa sejak peristiwa itu ayahku banyak diam dan menyendiri. Bahkan ia tak pernah lagi pusing dengan toko yang selama ini ia kelola. Biasanya setiap penghasilan yang didapat dari toko akan ia simpan untuk menjadi modal dagang berikutnya. Namun saat itu, ketika ibuku menyerahkan penghasilan dari toko, hanya ia pegang sebentar lalu ia serahkan lagi ke ibuku. Beberapa hari kemudian, Ia dipanggil Allah dalam keadaan tertidur pulas, begitu penuturan dari abang sulungku bang H. Ali.

Setelah melalui berbagai peristiwa ini, abang-abangku bercerita tentang perubahan yang besar pada diri mereka. Aku tidak tahu apa itu. Yang jelas, abang-abang ku merasa lebih sensitif secara spiritual. Semacam ada panggilan kerinduan yang sudah lama terpendam. Kami sering mengundang para ustadz untuk melakukan pengajian di rumah. Setelah beberapa kali pengajian, akhirnya suatu saat kami mengundang salah seorang ustadz dari sebuah thariqat.

Ia memperkenalkan beberapa konsep dasar dalam tasawuf terutama mengenai hakikat “Nur Muhammad” dan hakikat penciptaan. Saat itu abang-abangku spontan mengatakan “inilah yang selama ini kami rindukan.” Ketika itu Abangku (H. Ali) langsung teringat betapa ia dulu sangat anti-tasawuf dan mengatakan bahwa hal tersebut bid’ah.
Resistensi ini berlangsung cukup lama. Maklum, Abang kami yang tertua ini semakin syari’a-oriented pasca kepulangannya dari ibadah Haji. Dia membawa buku-buku yang berisi fatwa-fatwa yang diberikan secara gratis oleh Kerajaan Saudi di Mekkah. Setelah menjalani beberapa peristiwa di atas, abangku ini akhirnya sadar, bahwa selama ini ia terlalu bersandar pada syari’a dan lupa pada hakikatnya.

Semenjak itu kami sekeluarga sering berdebat mengenai “hakikat.” Kami begitu bersemangat sampai-sampai kami terkadang lupa waktu. Pernah dalam satu hari kami bergadang hingga subuh hanya untuk mengkaji hakikat hidup ini. Kami membaca berbagai buku dan mengutip dari sana sini untuk sekedar menggali beberapa ajaran tawasuf. Aku sering dijadikan rujukan ketika terjadi perdebatan, hanya karena aku pernah di pesantren dan lulus dari IAIN.

Tetapi, itu aku jalankan sebatas pengetahuanku yang sempit tentang tasawuf dan belum pernah aku amalkan. Selama pendidikan ku di Pesantren aku tidak pernah diperkenalkan tentang tasawuf. Tasawuf masih dianggap sangat “sakral” dan belum tepat untuk diajarkan, karena ditakutkan kalau belum siap akan “menyesatkan”.

Aku justru lebih banyak diajarkan dasar-dasar syariah berupa fikih, ushul fiqh, bahasa Arab, tafsir yang semuanya bertemakan tentang dasar-dasar syari’ah. Sedikit sekali aku mendapat pendidikan ruhaniah. Ketika aku duduk di bangku kuliah di IAIN (sekarang UIN), aku diajarkan mata kuliah Tasawuf. Sayangnya, aku mempelajarinya sebatas wacana akademik. Aku tahu tasawuf hanya melalui buku, makalah, diskusi, bukan melalui praktik langsung. “Sangat jauh bara dari api”. Yang aku rasakan malah terbalik: ‘daun spiritualku’ semakin kering. Akhirnya aku merasa terombang-ambing bagai buih dalam lautan ketidakjelasan orientasi hidup. Aku merasa seperti “pecundang spiritual”.

Pernah dalam suatu saat aku diajak oleh abangku Kasim untuk menemui seorang yang abangku yakini memiliki kemampuan spiritual yang dapat membimbingku. Aku turut aja. Apalagi selama ini abang Kasim dikenal sebagai petualang spiritual. Abangku ini pernah belajar ke berbagai guru dan mempelajari ilmu hikmah, sampai-sampai ia pernah menjadi guru ngaji dan dapat mengobati orang yang kesurupan.
Bahkan ia pernah belajar ke guru yang mengklaim bahwa ia dapat menangkap jin dalam botol. Ia bahkan aktif mengikuti wiridan tiap malam jumat di kediaman guru tersebut. Namun abangku dan juga aku akhirnya merasa bahwa pertualangan ini bukan menjadikan kami semakin tenang, tetapi semakin resah. Semakin jauh dari Allah.
Dengan mengikuti pengajian rumah yang diadakan abang-abangku itu, perlahan-lahan aku sadar bahwa selama ini aku memiliki pengetahuan yang tidak aku amalkan sehingga tidak berkah. Astaghfirullah. Aku baru sadar ternyata ada gejolak rindu yang selama ini aku abaikan.
Abangku Kasim juga mulai sadar bahwa selama ini ia belum menemukan guru yang ia harapkan berkah untuk dunia dan akhiratnya. Aku dan Abangku Kasim akhirnya juga mulai mendalami kajian dan wacana tasawuf, tetapi belum ada guru yang membimbing kami. Di samping itu, jarak juga memisahkan kami. Abangku Kasim berada di Jakarta, aku di Melbourne, sementara abangku yang lain tinggal di Pulau Kijang (Riau), sehingga kami tidak bisa mengikuti pengajian di Pulau Kijang.

Hingga suatu saat, abang-abangku yang di Pulau Kijang pernah mendapat satu edisi Cahaya Sufi dari seorang kawan dan setelah membacanya mereka merekomendasikan abang Kasim di Jakarta untuk mengikuti pengajian Kyai Luqman Hakim di perumahan BATAN Serpong dekat dari rumah kami di Jakarta. Namun karena “1001 alasan” kami belum dapat mengikutinya.

Alhamdulillah, aku bersyukur karena aku dan abang-abangku terus bersemangat untuk belajar. Namun sangat disayangkan, kami belajar tetapi tidak dibimbing secara ruhani oleh Mursyid. Hingga suatu saat, seorang ustadz yang juga mendalami tasawuf pernah mengatakan kalau mau belajar tasawuf jangan tanggung-tanggung dan kalau bisa harus berthariqat sehingga dapat dibimbing dengan baik. Kamipun akhirnya beritikad untuk mencari guru tarikat. Namun saat itu kami masih bingung ke mana harus mencari guru dan tarikat apa yang harus kami jalankan.

Juli-Agustus 2007. Aku telah menyelesaikan kuliah ku di Melbourne dan langsung pulang ke kampung (Pulau Kijang) untuk bersilaturahmi dengan keluarga. Sesampainya di sana, aku langsung terbawa arus pengajian abang-abangku. Aku melihat perubahan besar mulai terjadi. Abangku sering mengajakku untuk mencari guru yang bisa membimbing kami, namun Allah belum mempertemukan.
Hingga satu hari aku dan abang-abangku berjalan pada sore hari ke persawahan jam 4 sore. Keponakan-keponakan (anak-anak abangku) juga berkumpul ikut meramaikan suasana jalan-jalan sore hari itu. Karena aku ingin mengabadikan suasana sore hari itu dalam gambar, aku membawa sebuah kamera DSLR. Menjelang senja, salah satu keponakanku (anaknya bang H Ali) tiba-tiba berteriak: “Om, Pak, ada lafadz Allah…di langit”..serta merta kami semua memandang ke langit di ufuk Barat di mana matahari mulai tenggelam.
Perasaan kami waktu itu bercampur-campur antara perasaan takjub, kaget, bersyukur, dan haru ketika kami akhirnya melihat Lafadz Allah di Langit yang dirangkai dari kumpulan awan-awan dengan background langit memerah kekuning-kuningan.

Subhana Allah…aku bergumam saat itu. Allahu Akbar…pekik abangku H. Ali. Aku tiba-tiba teringat bahwa baru saja tadi malam kami mengkaji tentang hubungan antara Asma’, Sifat, dan Zat Allah. Spontan aku tekan tombol shutter di kameraku, dan Alhamdulillah aku berhasil mengabadikannya dalam gambar. Dalam hatiku berucap, inilah kenapa aku membawa kamera, mungkin Allah ingin memperlihatkan kebesaran-Nya.

Aku mencoba memotret untuk kedua kalinya, namun tidak berhasil karena mulai memudar. Namun tak lama setelah itu, muncul lagi cahaya/sinar terang. Tak lama setelah kami tatap, ternyata cahaya itu adalah lafadz Muhammad. Abangku spontan berkata, “Nur Muhammad”…aku yang sempat terkesima beberapa detik langsung tersadar untuk memotret lafadz itu, walaupun gambar yang kudapat tidak begitu jelas.

Saat itu terasa hening dan sangat tenang. Ada kesejukan yang mengalir di hati kami. “Ada apa gerangan yang terjadi?” celetuk abangku.
Sehari setelah itu, kami melanjutkan perjalanan ke desa seberang desa kami. Kami ingin berkonsultasi ke seorang Kyai untuk sebuah masalah keluarga, dan bukan mencari guru yang dapat membimbing kami untuk masuk ke thariqat. Setelah melalui perjalanan yang cukup panjang, sampailah kami di sebuah perkampungan yang terasa sejuk dan damai. Kami sampai di sebuah rumah panggung terbuat dari kayu.

Bertemulah kami dengan seseorang dengan perawakan sederhana dan tampak lusuh. Dengan lugunya abangku Haris bertanya, “Pak Kyai ada?” orang itu kemudian menjawab, “di sini tidak ada pak Kyai, yang ada Muhani…” Abangku kemudian menjawab,
“O ya, kami mencari Pak kyai Muhani”. Orang itu kemudian menjawab lagi, “kalau pak Kyai tidak ada, kalau Muhani itu kebetulan saya…”
Kami serentak kaget, karena dalam “imaginasi” kami Kyai adalah seorang dengan sosok berwibawa, bersurban, dan memegang tasbih sebagaimana yang sering ditayangkan dalam TV.

Kyai Muhani yang kami temui lain. Beliau hanya seorang petani yang sederhana, ramah, dan teduh, tidak tampak tanda-tanda ke-Kyaian. Di rumah beliau terpajang beberapa foto. Tapi mata kami terfokus pada salah satu foto. Pak Kyai Muhani mengatakan bahwa foto itu adalah Mbah Djalil Mustaqim, mursyid beliau yang sudah wafat.
Sebelumnya kami belum tahu bahwa kalau beliau adalah seorang salik, apalagi thariqat yang beliau tempuh. Beliau akhirnya bercerita bahwa beliau salah satu salik thariqat Syadziliyyah. Setelah berbincang-bincang selama kurang lebih dua jam, beliau mengajak kami untuk shalat berjamaah bersama di Mushalla di depan rumahnya yang juga menjadi tempat pengajian kitab al-Hikam. Seusai zikir bersama, mataku tertuju pada sebuah kalender di dinding Mushalla yang bertuliskan “PETA” Tulung Agung, Jawa Timur.

Abangku tak sungkan untuk menanyakan apa itu PETA? Beliau menjelaskan bahwa PETA adalah pondok pesulukan di Tulung Agung tempat ia belajar dan suluk dibimbing Mbah Djalil. Spontan abangku bertanya, “kalau kami ingin ikut berthariqat bagaimana caranya pak Kyai?” Pak Kyai Muhani menjawab bahwa beliau tidak punya hak untuk mem-baiat. Beliau hanya diberikan wewenang untuk mengijazahi dzikir-dzikir yang dibaca menjelang memasuki thariqat.

Akhirnya ketiga abangku (H. Ali, Haris, dan Udin) mendapatkan aurod Syadziliyah dan Asyfa’. Aku saat itu belum memutuskan untuk ikut. Namun saat itu hatiku bergumam, perjalanan kami yang tadinya hanya diniatkan untuk konsultasi keluarga tak terduga berubah menjadi sebuah jalan menuju thariqat Syaziliyah.

Inikah yang diisyaratkan Allah dalam Lafadz Nya yang kami saksikan di langit sehari yang lalu? Belum sempat aku menjawab pertanyaanku, tiba-tiba abangku menyela: “Mungkin Cahaya yang kemarin kita lihat menjadi penanda yang Allah berikan ke kita untuk menuju ke sini…”
Kurang lebih sebulan setelah peristiwa itu, tepatnya dua hari setelah Ramadhan, aku dan abangku Kasim yang di Jakarta datang bersilaturahmi ke rumah pak Kyai Muhani. Aku dan abangku Kasim pun akhirnya dianjurkan untuk berpuasa dan membaca asyfa dan kemudian menerima aurod Syadziliah dari beliau.


from: sufinews.com

Sunday, December 17, 2006

SILSILAH TAREQAT SAZILIYAH ‘ULUWIYAH
DARI MURSYID AL’ARIF BILLAH AL’ALIM
AL’ALAMAH ALHAFIDH ALHABIB
MUHAMMAD LUTHFILLAH BIN ALI BIN YAHYA



ALLAH JALLA JALAALUH

JIBRIL ALAIHIS SALAM

Sayyidil Mursaliin Imaamil Anbiyaa-I Wal Atqiyaa-I Sayyidina Muhammad SAW

1. Amiril Mu’minin Sayyidina Ali bin Abi Tholib Karomallahu Wajhah
2. Awwalil Aqthobi Sibthin Nabi wa Qurrotin Nabi Sayyidina Hasan bin Ali bin Fathimah Azzahro’ Rodddliyallohu Anhum
3. Quthbil 'Arif Billah Assayyid Abi Muhammad Jabir Roddliyallohu Anhu
4. Quthbil “Arif Billah Assayyid Abi Muhammad Al Ghoswaniy Rodliyallohu Anhu
5. Quthbil ‘arif Billah Assayyid Abi Muhammad Fathus Su’ud Rodliyallohu Anhu
6. Quthbil ‘arif Billah Assyyid Sa’ad Rodliyallohu Anhu
7. Quthbil ‘arif Billah Assyyid Sa’id Rodliyallohu Anhu
8. Quthbil ‘arif Billah Assyyid Abil Qosim Ahmad Almarwaniy Rodliyallohu Anhu
9. Quthbil ‘arif Billah Assyyid Abi Ishaq Ibrohim Albashriy Rodliyallohu ‘Anhu
10. Quthbil ‘arif Billah Assyyid Zainuddin Rodliyalolhu Anhu
11. Quthbil ‘arif Billah Assyyid Syamsudin Rodliyallohu Anhu
12. Quthbil ‘arif Billah Assyyid Tajudin Rodliyallohu Anhu
13. Quthbil ‘arif Billah Assyyid Nuruddin Rodliyallohu Anhu
14. Quthbil ‘arif Billah Assyyid Fachruddin Rodliyallohu Anhu
15. Quthbil ‘arif Billah Assyyid Naqiyuddin Alfaqir Rodliyallohu Anhu
16. Quthbil ‘arif Billah Assyyid ‘Abdurrohman Almadaniy Rodliyallohu Anhu
17. Quthbil ‘arif Billah Assyyid ‘Abdissalam bin Masyisy Rodliyallohu Anhu
18. Sulthonil Auliya’il’arifin Wa ifrodil ‘Ulama il ‘Amiliin Wa Quthbi Jami’il Maqom wa Ghoutsil A’dhom Assayyid Asysyeih Abil Hasan Ali Asy Syadzaliy Rodliyallohu Anhu
19. Quthbil Aqthob Al ‘Arif Billah Assayyid Abil ‘Abbas Almursiy Rodliyallohu Anhu
20. Quthbil ‘arif Billah Assyyid Abil Fath Almaidumiy Rodliyallohu Anhu
21. Quthbil ‘arif Billah Assyyid Taqiyyudin Alwustho Rodliyallohu Anhu
22. Quthbil ‘arif Billah Assyyid Al Hafidh Alqolqosandiy Rodliyallohu Anhu
23. Quthbil ‘arif Billah Assyyid Nurul Qorofiy Qoddasallohu Sirrohu
24. Quthbil ‘arif Billah Assyyid ‘Ali Al Ajhuriy Qoddasallohu Sirrohu
25. Quthbil ‘arif Billah Assyyid Muhammad Azzarqowiy Qoddasallohu Sirrohu
26. Quthbil ‘arif Billah Assyyid Muhammad bin Qosim Assakandari Qoddasallohu Sirrohu
27. Quthbil ‘arif Billah Assyyid Yusuf Adldloriiriy Qoddasallohu Sirrohu
28. Quthbil ‘arif Billah Assyyid Muhammad Al Bahmiitiy Qoddasallohu Sirrohu
29. Quthbil ‘arif Billah Assyyid Ahmad Minatulloh Al Malakiy Azzuhriy Qoddasallohu Sirrohu
30. Quthbil ‘arif Billah Assyyid ‘Ali bin Thohir Al Madaniy Qoddasallohu Sirrohu
31. Quthbil ‘arif Billah Assyyid Sholih Al Muftiy Al Hanafiy Qoddasallohu Sirrohu
32. Quthbil ‘arif Billah Assyyid Al Habib Ahmad Nahrowiy Al Makiy Qoddasallohu Sirrohu
33. Quthbil ‘arif Billah Assyyid Al Habib Al Hafidh Al’Alamah Muhammad ‘Abdil Malik Qoddasallohu Sirrohu
34. Al Arif Billah Assayyid Al Habib Muhammad Luthfiy bin ‘Ali bin Hasyim bin Yahya, Pekalongan Jawa Tengah , Indonesia




Thursday, December 14, 2006

Thursday, December 7, 2006

Realitas Hubungan Murid dengan Mursyidnya Tercinta

Apa sesungguhnya yang terjadi pada seorang Mursyid sehingga sedemikian banyak kekhawatiran dan kebingungan mengemuka bagi para pemula perjalanan Spiritual? Mursyid adalah seorang Manusia.Betul. Akan tetapi, apa bedanya.Apa bedanya?

Perbedaan antara Mursyidmu dengan setiap manusia lain yang pernah kau temui adalah tingkat Kesempurnaannya.

Dalam Ungkapan Syaich Ibn’Arabi:
“Seorang Manusia sempurna adalah seseorang yang sungguh murni, bersih: cermin yang sempurna, tempat Allah, KeindahanYang sempurna, melihat Pantulan-Nya secara nyata pada kedalamannya.”-Kernel of the Kernel-

Seorang Mursyid memiliki kualitas khusus yang mungkin sudah pernah dibaca oleh murid barunya, kualitas yang dikenal sebagai istislam, atau pergi bertemu Kehendak Ilahi dalamketaatan penuh.
Istislam mengandaikan sinambungnya keberanian sekaligus tenangnya kesiapan untuk melakukan sesuatu dengan segera saat perintah dating. Ketika seorang murid mencapai puncak kerinduannya akan tuntunan, dia menemukan dirinya berhadapan dengan seorang manusia , yang dalam istilah Syaich ‘Abdul Al Qodir Al Sufi:
“ Keduanya adalah hamba waktu-‘Abd Al Waqt, dan pemuja sang waktu_’Abid Al Waqt,itulah makna semua kenyataan itu, dan itulah kenyataan.”
Ini adalah satu aspek kebingungan sang murid dan hal yang dipertanyakannya kepada dirinya sendiri.Sang Murid tidak mengerti hakekat istislam , sang murid juga tidak mengerti hakekat Abd Al Waqt dan ‘Abid Al Waqt. Dan yang paling memusingkan adalah Sang Murid tidak paham hakekat dari Mursyidnya Tercinta. Disinilah Kunci Pengetahuan akan Allah. Namun Sang Murid akhirnya mencapai Penuntunnya, Pecinta Allah ini, dia telah menemukannya karena dia menginginkannya , merindukannya dan membutuhkan pengetahuan akan Realitas. Dia harus paham istislam. Adakah sebab lain lagi yang telah membuatnya tertuntun kapada penuntunnya, kepada Mursyidnya Tercinta.?

Mursyid adalah seorang manusia yang akan menunjukkan muridnya cara menghancurkan segala pengetahuan yang tidak berguna, tidak bernilai dan eksesif yang memengaruhi hidup murid itu sebelum dia masuk tareqat, dank arena kemampuan Sang Mursyid yang Murni untuk menuntun, karena talenta yang dianugerahkan Allah swt kepadanya itu, cinta sang murid kepadanya meningkat.
Setiap tarikan napas hanya membuat cinta itu lebih besar dan intens lagi. Tiap tarikan nafas sang murid itu mengantarnya lebih dekat pada tujuan karena melalui sang Mursyidlah sang murid dituntun oleh Rasul saw kita Muhammad Saw. Dan dia dibimbing kepada Allah Yang Maha Kuat. Satu tuntunan. Satu Cahaya.Allah swt.

Syaich Ibn Arabi berkata:“ Orang mengira bahwa seorang guru harus berbuat keajaiban dan menampakkan kesaktian. Tetapi tuntutan seorang guru sesungguhnya adalah bahwa dia harus memiliki semua yang dibutuhkan oleh pengikutnya.”

Karena keunikan absolute setiap murid, penerimaan mereka berbeda beda dan kesiapan mereka untuk memasuki kedalaman makna Pengajaran juga unik. Beberapa murid yang lebih mudah selaras dari pada yang lain, tampak lebih dekat dengan gelombang Mursyidnya dari kawan kawan seperjalanannya. Sebagian murid ingin membawa calon pengikut lebih & lebih banyak lagi kedalam Kehadiran Sang Mursyid, sementara sebagian lainnya tidak mampu bahkan hanya untuk mengungkap namanya sendiri kepada orang lain. Ini karena para murid telah merasakan Kehebatan Mursyid yang mereka cintai itu, dan dia , bagi mereka adalah harta yang tak ternilai.
“ Jangan perlihatkan sebutir mutiara kepada seseorang yang tidak akan memahami nilainya.” _ Yunus Emre_

Salah seorang guru Akbar telah berkata bahwa jika realitas kesufian disingkap, ia akan dipuja. Ini betul betul kenyataan yang dialami oleh murid murid tertentu, yang telah membuat cinta mereka melimpah ruah dan menghawatirkan Mursyidnya..
Pada mulanya , mungkin agak sulit bagi murid baru untuk mengerti bahwa bukanlah penampakan luar Mursyidnya yang telah membuat penuntunnya itu amat layak dicintai, melainkan realitas kediriannya. Dan realitas cinta Mursyid inilah yang sering membuat murid muridnya mengalami kerinduan yang memuncak hingga mereka rela meninggalkan hampir semua miliknya untuk bergegas mendekati sang Mursyid dengan harapan untuk dapat terus melayaninya. Buku buku tasawuf dipenuhi kisah kisah indah ini.
Ketika Fachrudin Iraqi terpisah dari Guru yang dicintainya , Syaich Qunawi, dia menulis surat kepada gurunya:
“Akhirnya dari ikatan ini ada ditanganmu,
dan aku terlatih untuk tangan itu.
Ketika kau menarikku kepada dirimu, aku akan kembali kepadamu.
Aku telah teramat hampir hancur oleh perpisahan dengan mu, Maka, jika kau tidak meraih tanganku, aku tidak akan mungkin bangkit lagi.”

Ketika seorang murid diharu biru cinta yang terlalu kuat seperti yang dialami Iraqi , dia dapat menangis , menjerit serta memohon untuk bersama Mursyidnya , tetapi dibalik itu , hatinya sungguh damai karena dia tahu bahwa dia tidak akan pernah mungkin merasakan semua ini jika Mursyidnya tidak merasakan hal yang sama kepadanya.
Untuk ketidak mungkinan ini, Syaich Rumi berdendang dalam Matsnawi-nya:“ Ketika Cahaya Cinta berkilau dihati sang tercinta , ketahuilah ada juga cinta dihati itu. Ketika cinta kepada Tuhan telah tertanam dihatimu, tidak ragu Tuhan memiliki cinta buatmu”
Dalam ungkapan terbaik Ibnu Atha’illah:“ Syaichmu bukanlah seseorang yang kau dengar pembicaraannya . Syaichmu adalah seseorang yang kau anut. Dia bukanlah seseorang yang ekspresinya mengemuka dihadapanmu , melainkan seseorang yang tandanya mengalir dalam dirimu. Syaichmu bukan orang yang memanggilmu untuk datang ke pintu , melainkan yang menyingkapkan tabir diantara kau dan Dia . Bukanlah Syaichmu yang kata katanya menghadangmu , dia adalah yang keberadaannya memanggulmu . Syaichmu adalah orang yang membebaskanmu dari penjara keinginan dan membuatmu memasuki hadirat Tuhan.Syaichmu adalah orang yang memanifestasikan cermin hatimu sampai cahaya Tuhanmu memanifestasikan diri diatasnya . Dia membawamu kepada Allah swt dan kau pergi kepada – Nya. Dia pergi bersamamu sampai kau datang kepada-Nya . Dan Dia masih tetap akan bersamamu sampai dia meletakkan mu dia antara tangan-Nya. Dia mengarahkanmu ke dalam cahaya kehadiran sampai dia berkata kepadamu,” Disinilah kau, dan ini Tuhanmu!”


Dan hati seorang murid akan tersayat oleh peluru intan begitu dia tersadar akan makna baru menakjubkan yang terkandung dalam ayat Al Quran yang banyak dibaca dan dikaji ini: “ Dan demi bapak dan anaknya ( QS Al Balad [90]: 3)Mursyidmu adalah Bapak Spiritualmu. Kau adalah anaknya. Dan dia membawamu pulang ke Rumah. Subhanallah-segala puja puji terindah bagi Allah swt.[]


Nb: Menembus Langit- Amatullah Amstrong

Wednesday, December 6, 2006

Urgensi Mursyid Dalam Tareqat

Allah Swt. berfirman:“Barangsiapa mendapatkan kesesatan, maka ia tidak akan menemukan (dalah hidupnya) seorang wali yang mursyid” (Al-Qur’an).

Dalam tradisi tasawuf, peran seorang Mursyid (pembimbing atau guru ruhani) merupakan syarat mutlak untuk mencapai tahapan-tahapan puncak spiritual.

Eksistensi dan fungsi Mursyid atau wilayah kemursyidan ini ditolak oleh sebagaian ulama yang anti tasawuf atau mereka yang memahami tasawuf dengan cara-cara individual.

Mereka merasa mampu menembus jalan ruhani yang penuh dengan rahasia menurut metode dan cara mereka sendiri, bahkan dengan mengandalkan pengetahuan yang selama ini mereka dapatkan dari ajaran Al-Qur’an dan Sunnah.


Namun karena pemahaman terhadap kedua sumber ajaran tersebut terbatas, mereka mengklaim bahwa dunia tasawuf bisa ditempuh tanpa bimbingan seorang Mursyid.


Pandangan demikian hanya layak secara teoritis belaka.


Tetapi dalam praktek sufisme, hampir bisa dipastikan, bahwa mereka hanya meraih kegagalan spiritual.

Bukti-bukti historis akan kegagalan spoiritual tersebut telah dibuktikan oleh para ulama sendiri yang mencoba menempuh jalan sufi tanpa menggunakan bimbingan Mursyid.

Para ulama besar sufi, yang semula menolak tasawuf, seperti Ibnu Athaillah as-Sakandari, Sulthanul Ulama Izzuddin Ibnu Abdis Salam, Syeikh Abdul Wahab asy-Sya’rani, dan Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali akhirnya harus menyerah pada pengembaraannya sendiri, bahwa dalam proses menuju kepada Allah tetap membutuhkan seorang Mursyid.

Masing-masing ulama besar tersebut memberikan kesaksian, bahwa seorang dengan kehebatan ilmu agamanya, tidak akan mampu menempuh jalan sufi, kecuali atas bimbingan seorang Syekh atau Mursyid.

Sebab dunia pengetahuan agama, seluas apa pun, hanyalah “dunia ilmu”, yang hakikatnya lahir dari amaliah. Sementara, yang dicerap dari ilmu adalah produk dari amaliah ulama yang telah dibukakan jalan ma’rifat itu sendiri.

Jalan ma’rifat itu tidak bisa begitu saja ditempuh begitu saja dengan mengandalkan pengetahuan akal rasional, kecuali hanya akan meraih Ilmul Yaqin belaka, belum sampai pada tahap Haqqul Yaqin. Alhasil mereka yang merasa sudah sampai kepada Allah (wushul) tanpa bimbingan seorang Mursyid, wushul-nya bisa dikategorikan sebagai wushul yang penuh dengan tipudaya.

Sebab, dalam alam metafisika sufisme, mereka yang menempuh jalan sufi tanpa bimbingan ruhani seorang Mursyid, tidak akan mampu membedakan mana hawathif-hawathif (bisikan-bisikan lembut) yang datang dari Allah, dari malaikat atau dari syetan dan bahkan dari jin. Di sinilah jebakan-jebakan dan tipudaya penempuh jalan sufi muncul.


Oleh sebab itu ada kalam sufi yang sangat terkenal:

“Barangsiapa menempuh jalan Allah tanpa disertai seorang guru, maka gurunya adalah syetan”.


Oleh sebab itu, seorang ulama sendiri, tetap membutuhkan seorang pembimbing ruhani, walaupun secara lahiriah pengetahuan yang dimiliki oleh sang ulama tadi lebih tinggi dibanding sang Mursyid. Tetapi, tentu saja, dalam soal-soal Ketuhanan, soal-soal bathiniyah, sang ulama tentu tidak menguasainya.Sebagaimana ayat al-Qur’an di atas, seorang Syekh atau Mursyid Sufi, mesti memiliki prasyarat yang tidak ringan. Dari konteks ayat di atas menunjukkan bahwa kebutuhan akan bimbingan ruhani bagi mereka yang menempuh jalan sufi, seorang pembimbing ruhani mesti memiliki predikat seorang yang wali, dan seorang yang Mursyid.

Dengan kata lain, seorang Mursyid yang bisa diandalkan adalah seorang Mursyid yang Kamil Mukammil, yaitu seorang yang telah mencapai keparipurnaan ma’rifatullah sebagai Insan yang Kamil, sekaligus bisa memberikan bimbingan jalan keparipurnaan bagi para pengikut thariqatnya.

Tentu saja, untuk mencari model manusia paripurna setelah wafatnya Rasulullah saw. terutama hari ini, sangatlah sulit. Sebab ukuran-ukuran atau standarnya bukan lagi dengan menggunakan standar rasional-intelektual, atau standar-standar empirisme, seperti kemasyhuran, kehebatan-kehebatan atau pengetahuan-pengetahuan ensiklopedis misalnya. Bukan demikian.

Tetapi, adalah penguasaan wilayah spiritual yang sangat luhur, dimana, logika-logikanya, hanya bisa dicapai dengan mukasyafah kalbu atau akal hati.Karenanya, pada zaman ini, tidak jarang Mursyid Tarekat yang bermunculan, dengan mudah untuk menarik simpati massa, tetapi hakikatnya tidak memiliki standar sebagai seorang Mursyid yang wali sebagaimana di atas. Sehingga saat ini banyak Mursyid yang tidak memiliki derajat kewalian, lalu menyebarkan ajaran tarekatnya. Dalam banyak hal, akhirnya, proses tarekatnya banyak mengalami kendala yang luar biasa, dan akhirnya banyak yang berhenti di tengah jalan persimpangan.Lalu siapakah Wali itu? Wali adalah kekasih Allah Swt. Mereka adalah para kekasih Allah yang senanatiasa total dalam tha’at ubudiyahnya, dan tidak berkubang dalam kemaksiatan. Dalam al-Qur’an disebutkan:

“Ingatlah, bahwa wali-wali Allah itu tidak pernah takut, juga tidak pernah susah.”Sebagian tanda dari kewalian adalah tidak adanya rasa takut sedikit pun yang terpancar dalam dirinya, tetapi juga tidak sedikit pun merasa gelisah atau susah. Para Wali ini pun memiliki hirarki spiritual yang cukup banyak, sesuai dengan tahap atau maqam dimana, mereka ditempatkan dalam Wilayah Ilahi di sana. Paduan antara kewalian dan kemursyidan inilah yang menjadi prasyarat bagi munculnya seorang Mursyid yang Kamil dan Mukammil di atas.

Dalam kitab Al-Mafaakhirul ‘Aliyah, karya Ahmad bin Muhammad bin ‘Ayyad, ditegaskan, -- dengan mengutip ungkapan Sulthanul Auliya’ Syekh Abul Hasan asy-Syadzily ra, -- bahwa syarat-syarat seorang Syekh atau Mursyid yang layak – minimal –ada lima:

1. Memiliki sentuhan rasa ruhani yang jelas dan tegas.2. Memiliki pengetahuan yang benar.
3. Memiliki cita (himmah) yang luhur.
4. Memiliki perilaku ruhani yang diridhai.
5. Memiliki matahati yang tajam untuk menunjukkan jalan Ilahi.


Sebaliknya kemursyidan seseorang gugur manakala melakukan salah satu tindakan berikut:

1. Bodoh terhadap ajaran agama.
2. Mengabaikan kehormatan ummat Islam.
3. Melakukan hal-hal yang tidak berguna.
4. Mengikuti selera hawa nafsu dalam segala tindakan.
5. Berakhal buruk tanpa peduli dengan perilakunya.


Syekh Abu Madyan – ra- menyatakan, siapa pun yang mengaku dirinya mencapai tahap ruhani dalam perilakunya di hadapan Allah Swt. lalu muncul salah satu dari lima karakter di bawah ini, maka, orang ini adalah seorang pendusta ruhani:

1. Membiarkan dirinya dalam kemaksiatan.
2. Mempermainkan thaat kepada Allah.
3. Tamak terhadap sesama makhuk.
4. Kontra terhadap Ahlullah
5. Tidak menghormati sesama ummat Islam sebagaimana diperintahkan Allah Swt.

Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili mengatakan, “Siapa yang menunjukkan dirimu kepada dunia, maka ia akan menghancurkan dirimu. Siapa yang menunjukkan dirimu pada amal, ia akan memayahkan dirimu. Dan barangsiapa menunjukkan dirimu kepada Allah Swt. maka, ia pasti menjadi penasehatmu.


”Ibnu Athaillah as-Sakandari dalam kitab Al-Hikam mengatakan, “Janganlah berguru pada seseorang yang yang tidak membangkitkan dirimu untuk menuju kepada Allah dan tidak pula menunjukkan wacananya kepadamu, jalan menuju Allah”.

Seorang Mursyid yang hakiki, menurut Asy-Syadzili adalah seorang Mursyid yang tidak memberikan beban berat kepada para muridnya.Dari kalimat ini menunjukkan bahwa banyak para guru sufi yang tidak mengetahui kadar bathin para muridnya, tidak pula mengetahui masa depan kalbu para muridnya, tidak pula mengetahui rahasia Ilahi di balik nurani para muridnya, sehingga guru ini, dengan mudahnya dan gegabahnya memberikan amaliyah atau tugas-tugas yang sangat membebani fisik dan jiwa muridnya. Jika seperti demikian, guru ini bukanlah guru yang hakiki dalam dunia sufi.

Jika secara khusus, karakteristik para Mursyid sedemikian rupa itu, maka secara umum, mereka pun berpijak pada lima (5) prinsip thariqat itu sendiri:

1. Taqwa kepada Allah swt. lahir dan batin.
2. Mengikuti Sunnah Nabi Saw. baik dalam ucapan maupun tindakan.
3. Berpaling dari makhluk (berkonsentrasi kepada Allah) ketika mereka datang dan pergi.
4. Ridha kepada Allah, atas anugerah-Nya, baik sedikit maupun banyak.
5. Dan kembali kepada Allah dalam suka maupun duka.

Manifestasi Taqwa, melalaui sikap wara’ dan istiqamah. Perwujudan atas Ittiba’ sunnah Nabi melalui pemeliharaan dan budi pekerti yang baik. Sedangkan perwujudan berpaling dari makhluk melalui kesabaran dan tawakal. Sementara perwujudan ridha kepada Allah, melalui sikap qana’ah dan pasrah total. Dan perwujudan terhadap sikap kembali kepada Allah adalah dengan pujian dan rasa syukur dalam keadaan suka, dan mengembalikan kepada-Nya ketika mendapatkan bencana.


Secara keseluruhan, prinsip yang mendasari di atas adalah:

1) Himmah yang tinggi,
2) Menjaga kehormatan,
3) Bakti yang baik,
4) Melaksanakan prinsip utama; dan
5) Mengagungkan nikmat Allah Swt.


Dari sejumlah ilusttrasi di atas, maka bagi para penempuh jalan sufi hendaknya memilih seorang Mursyid yang benar-benar memenuhi standar di atas, sehingga mampu menghantar dirinya dalam penempuhan menuju kepada Allah Swt.Rasulullah saw. adalah teladan paling paripurna. Ketika hendak menuju kepada Allah dalam Isra’ dan Mi’raj, Rasulullah Saw. senantiasa dibimbing oleh Malaikat Jibril as. Fungsi Jibril di sini identik dengan Mursyid di mata kaum sufi. Hal yang sama, ketika Nabiyullah Musa as, yang merasa telah sampai kepada-Nya, ternyata harus diuji melalui bimbingan ruhani seorang Nabi Khidir as. Hubungan Musa dan Khidir adalah hubungan spiritual antara Murid dan Syekh. Maka dalam soal-soal rasional Musa as sangat progresif, tetapi beliau tidak sehebat Khidir dalam soal batiniyah.Karena itu lebih penting lagi, tentu menyangkut soal etika hubungan antara Murid dengan Mursyidnya, atau antara pelaku sufi dengan Syekhnya. Syekh Abdul Wahhab asy-Sya’rani, (W. 973 H) secara khusus menulis kitab yang berkaitan dengan etika hubungan antara Murid dengan Mursyid tersebut, dalam “Lawaqihul Anwaar al-Qudsiyah fi Ma’rifati Qawa’idus Shufiyah”.> anda juga bisa baca artikel ini di www.sufinews.com

Tareqat Saziliyah 2

Secara pribadi Abul Hasan asy-Syadzili tidak meninggalkan karya tasawuf, begitu juga muridnya, Abul Abbas al-Mursi, kecuali hanya sebagai ajaran lisan tasawuf, Doa, dan hizib.
Ibn Atha'illah as- Sukandari adalah orang yang prtama menghimpun ajaran-ajaran, pesan-pesan, doa dan biografi keduanya, sehingga kasanah tareqat Syadziliyah tetap terpelihara.
Ibn Atha'illah juga orang yang pertama kali menyusun karya paripurna tentang aturan-aturan tareqat tersebut, pokok-pokoknya, prinsip-prinsipnya, bagi angkatan-angkatan setelahnya.
Melalui sirkulasi karya-karya Ibn Atha'illah, tareqat Syadziliyah mulai tersebar sampai ke Maghrib, sebuah negara yang pernah menolak sang guru. Tetapi ia tetap merupakan tradisi individualistik, hampir-hampir mati, meskipun tema ini tidak dipakai, yang menitik beratkan pengembangan sisi dalam.
Syadzili sendiri tidak mengenal atau menganjurkan murid-muridnya untuk melakukan aturan atau ritual yang khas dan tidak satupun yang berbentuk kesalehan populer yang digalakkan.
Namun, bagi murid-muridnya tetap mempertahankan ajarannya. Para murid melaksanakan Tareqat Syadziliyah di zawiyah-zawiyah yang tersebar tanpa mempunyai hubungan satu dengan yang lain.
Sebagai ajaran Tareqat ini dipengaruhi oleh al-Ghazali dan al-Makki. Salah satu perkataan as-Syadzili kepada murid-muridnya: "Seandainya kalian mengajukan suatu permohonanan kepada Allah, maka sampaikanlah lewat Abu Hamid al-Ghazali".
Perkataan yang lainnya: "Kitab Ihya' Ulum ad-Din, karya al-Ghozali, mewarisi anda ilmu. Sementara Qut al-Qulub, karya al-Makki, mewarisi anda cahaya."
Selain kedua kitab tersebut, as-Muhasibi, Khatam al-Auliya, karya Hakim at-Tarmidzi, Al-Mawaqif wa al-Mukhatabah karya An-Niffari, Asy-Syifa karya Qadhi 'Iyad, Ar-Risalah karya al-Qusyairi, Al-Muharrar al-Wajiz karya Ibn Atah'illah.
1.Ketaqwaan terhadap Allah swt lahir dan batin, yang diwujudkan dengan jalan bersikap wara' dan Istiqamah dalam menjalankan perintah Allah swt.
2.Konsisten mengikuti Sunnah Rasul, baik dalam ucapan maupun perbuatan, yang direalisasikan dengan selalau bersikap waspada dan bertingkah laku yang luhur.
3.Berpaling (hatinya) dari makhluk, baik dalam penerimaan maupun penolakan, dengan berlaku sadar dan berserah diri kepada Allah swt (Tawakkal).
4.Ridho kepada Allah, baik dalam kecukupan maupun kekurangan, yang diwujudkan dengan menerima apa adanya (qana'ah/ tidak rakus) dan menyerah.
5.Kembali kepada Allah, baik dalam keadaan senang maupun dalam keadaan susah, yang diwujudkan dengan jalan bersyukur dalam keadaan senang dan berlindung kepada-Nya dalam keadaan susah.
Kelima sendi tersebut juga tegak diatas lima sendi berikut:
1.Semangat yang tinggi, yang mengangkat seorang hamba kepada derajat yang tinggi.
2.Berhati-hati dengan yang haram, yang membuatnya dapat meraih penjagaan Allah atas kehormatannya.
3.Berlaku benar/baik dalam berkhidmat sebagai hamba, yang memastikannya kepada pencapaian tujuan kebesaran-Nya/kemuliaan-Nya.
4.Melaksanakan tugas dan kewajiban, yang menyampaikannya kepada kebahagiaan hidupnya.
5.Menghargai (menjunjung tinggi) nikmat, yang membuatnya selalu meraih tambahan nikmat yang lebih besar.
Selain itu tidak peduli sesuatu yang bakal terjadi (merenungkan segala kemungkinan dan akibat yang mungkin terjadi pada masa yang akan datang) merupakan salah satu pandangan tareqat ini, yang kemudian diperdalam dan diperkokoh oleh Ibn Atha'illah menjadi doktrin utamanya.
Karena menurutnya, jelas hal ini merupakan hak prerogratif Allah. Apa yang harus dilakukan manusia adalah hendaknya ia menunaikan tugas dan kewajibannya yang bisa dilakukan pada masa sekarang dan hendaknya manusia tidak tersibukkan oleh masa depan yang akan menghalanginya untuk berbuat positif.
Sementara itu tokohnya yang terkenal pada abad ke delapan Hijriyah, Ibn Abbad ar-Rundi (w. 790 H), salah seorang pensyarah kitab al-Hikam memberikan kesimpulan dari ajaran Syadziliyah:
Seluruh kegiatan dan tindakan kita haruslah berupa pikiran tentang kemurahan hati Allah kepada kita dan berpendirian bahwa kekuasaan dan kekuatan kita adalah nihil, dan mengikatkan diri kita kepada Allah dengan suatu kebutuhan yang mendalam akan-Nya, dan memohon kepada-Nya agar memberi syukur kepada kita.
"Mengenai dzikir yang merupakan suatu hal yang mutlak dalam tareqat, secara umum pada pola dzikir tareqat ini biasanya bermula dengan Fatihat adz-dzikir. Para peserta duduk dalam lingkaran, atau kalau bukan, dalam dua baris yang saling berhadapan, dan syekh di pusat lingkaran atau diujung barisan. Khusus mengenai dzikir dengan al-asma al-husna dalam tareqat ini, kebijakjsanaan dari seorang pembimbing khusus mutlak diperlukan untuk mengajari dan menuntun murid. Sebab penerapan asma Allah yang keliru dianggap akan memberi akibat yang berbahaya, secara rohani dan mental, baik bagi sipemakai maupun terhadap orang-orang disekelilingnya.
Beberapa contoh penggunaan Asma Allah diberikan oleh Ibn Atha'ilah berikut: "Asma al-Latif," Yang Halus harus digunakan oleh seorang sufi dalam penyendirian bila seseorang berusaha mempertahankan keadaan spiritualnya;
Al-Wadud, Kekasih yang Dicintai membuat sang sufi dicintai oleh semua makhluk, dan bila dilafalkan terus menerus dalam kesendirian, maka keakraban dan cinta Ilahi akan semakin berkobar; dan Asma al-Faiq, "Yang Mengalahkan" sebaiknya jangan dipakai oleh para pemula, tetapi hanya oleh orang yang arif yang telah mencapai tingkatan yang tinggi.
Tareqat Syadziliyah terutama menarik dikalangan kelas menengah, pengusaha, pejabat, dan pengawai negeri.
Mungkin karena kekhasan yang tidak begitu membebani pengikutnya dengan ritual-ritual yang memberatkan seperti yang terdapat dalam tareqat-tareqat yang lainnya.
Setiap anggota tareqat ini wajib mewujudkan semangat tareqat didalam kehidupan dan lingkungannya sendiri, dan mereka tidak diperbolehkan mengemis atau mendukung kemiskinan.
Oleh karenanya, ciri khas yang kemudian menonjol dari anggota tareqat ini adalah kerapian mereka dalam berpakaian.
Kekhasan lainnya yang menonjol dari tareqat ini adalah "ketenagan" yang terpancar dari tulisan-tulisan para tokohnya, misalnya: asy-Syadzili, Ibn Atha'illah, Abbad. A Schimmel menyebutkan bahwa hal ini dapat dimengerti bila dilihat dari sumber yang diacu oleh para anggota tareqat ini.
Kitab ar-Ri'ayah karya al-Muhasibi. Kitab ini berisi tentang telaah psikologis mendalam mengenai Islam di masa awal. Acuan lainnya adalah Qut al-Qulub karya al-Makki dan Ihya Ulumuddin karya al-Ghozali.
Ciri "ketenangan" ini tentu sja tidak menarik bagi kalangan muda dan kaum penyair yang membutuhkan cara-cara yang lebih menggugah untuk berjalan di atas Jalan Yang Benar. Disamping Ar-Risalahnya Abul Qasim Al-Qusyairy serta Khatamul Auliya'nya, Hakim at-Tirmidzi.
Ciri khas lain yang dimiliki oleh para pengikut tareqat ini adalah keyakinan mereka bahwa seorang Syadzilliyah pasti ditakdirkan menjadi anggota tareqat ini sudah sejak di alam Azali dan mereka percaya bahwa Wali Qutb akan senantiasa muncul menjadi pengikut tareqat ini.
Tidak berbeda dengan tradisi di Timur Tengah, Martin menyebutkan bahwa pengamalan tareqat ini di Indonesia dalam banyak kasus lebih bersifat individual, dan pengikutnya relatif jarang, kalau memang pernah, bertemu dengan yang lain.
Dalam praktiknya, kebanyakan para anggotanya hanya membaca secara individual rangaian-rangkaian doa yang panjang (hizb), dan diyakini mempunyai kegunaan-kegunaan megis.
Para pengamal tareqat ini mempelajari berbagai hizib, paling tidak idealnya, melalui pengajaran (talkin) yang diberikan oleh seorang guru yang berwewenang dan dapat memelihara hubungan tertentu dengan guru tersebut, walaupun sama sekali hampir tidak merasakan dirinya sebagai seorang anggota dari sebuah tareqat.
Hizb al-Bahr, Hizb Nashor, disamping Hizib al-Hafidzah, merupaka salah satu Hizib yang sangat terkenal dari as-Syadzilli.
Menurut laporan, hizib ini dikomunikasikan kepadanya oleh Nabi SAW. Sendiri. Hizib ini dinilai mempunyai kekuatan adikodrati, yang terutama dugunakan untuk melindungi selama dalam perjalanan.
Ibnu Batutah menggunakan doa-doa tersebut selama perjalanan-perjalanan panjangnya, dan berhasil. Dan di Indonesia, dimana doa ini diamalkan secara luas, secara umum dipercaya bahwa kegunaan megis doa ini hanya dapat "dibeli" dengan berpuasa atau pengekangn diri yang liannya dibawah bimbingan guru.
Hizib-hizib dalam Tareqat Syadzilliyah, di Indonesia, juga dipergunakan oleh anggota tareqat lain untuk memohon perlindungan tambahan (Istighotsah), dan berbagai kekuatan hikmah, seperti debus di Pandegelang, yang dikaitkan dengan tareqat Rifa'iyah, dan di Banten utara yang dihubungkan dengan tareqat Qadiriyah.
Para ahli mengatakan bahwa hizib, bukanlah doa yang sederhana, ia secara kebaktian tidak begitu mendalam; ia lebih merupakan mantera megis yang Nama-nama Allah Yang Agung (Ism Allah A'zhim) dan, apabila dilantunkan secara benar, akan mengalirkan berkan dan menjamin respon supra natural.
Menyangkut pemakaian hizib, wirid, dana doa, para syekh tareqat biasnya tidak keberatan bila doa-doa, hizib-hizib (Azhab), dan wirid-wirid dalam tareqat dipelajari oleh setiap muslim untuk tujuan personalnya.
Akan tetapi mereka tidak menyetujui murid-murid mereka mengamalkannya tanpa wewenang, sebab murid tersebut sedang mengikuti suaru pelatihan dari sang guru.
Tareqat ini mempunyai pengaruh yang besar di dunia Islam. Sekarang tareqat ini terdapat di Afrika Utara, Mesir, Kenya, dan Tanzania Tengah, Sri langka, Indonesia dan beberapa tempat yang lainnya termasuk di Amerika Barat dan Amerika Utara.
Di Mesir yang merupakan awal mula penyebaran tareqat ini, tareqat ini mempunyai beberapa cabang, yakitu: al-Qasimiyyah, al- madaniyyah, al-Idrisiyyah, as-Salamiyyah, al-handusiyyah, al-Qauqajiyyah, al-Faidiyyah, al-Jauhariyyah, al-Wafaiyyah, al-Azmiyyah, al-Hamidiyyah, al-Faisiyyah dan al- Hasyimiyyah.
Yang menarik dari filosufi Tasawuf Asy-Syadzily, justru kandungan makna hakiki dari Hizib-hizib itu, memberikan tekanan simbolik akan ajaran utama dari Tasawuf atau Tharekat Syadziliyah. Jadi tidak sekadar doa belaka, melainkan juga mengandung doktrin sufistik yang sangat dahsyat.
Di antara Ucapan Abul Hasan asy-Syadzili: Pengelihatan akan yang Haqq telah mewujud atasku, dan takkan meninggalkan aku, dan lebih kuat dari apa yang dapat dipikul, sehingga aku memohon kepada Tuhan agar memasang sebuah tirai antara aku dan Dia. Kemudian sebuah suara memanggilku, katanya " Jika kau memohon kepada-Nya yang tahu bagaimana memohon kepada-Nya, maka Dia tidak akan memasang tirai antara kau dan Dia. Namun memohonlah kepada-Nya untuk membuatmu kuat memiliki-Nya."Maka akupun memohon kekuatan dari Dia pun membuatku kuat, segala puji bagi Tuhan! Aku pesan oleh guruku (Abdus Salam ibn Masyisy ra): "Jangan anda melangkahkan kaki kecuali untuk sesuatu yang dapat mendatangkn keridhoan Allah, dan jangan duduk dimajelis kecuali yang aman dari murka Allah. Jangan bersahabat kecuali dengan orang yang membantu berbuat taat kepada Allah. Jangan memilih sahabat karib kecuali orang yang menambah keyakinanmu terhadap Allah.
" Seorang wali tidak akan sampai kepada Allah selama ia masih ada syahwat atau usaha ihtiar sendiri. Janganlah yang menjadi tujuan doamu itu adalah keinginan tercapainya hajat kebutuhanmu. Dengan demikian engkau hanya terhijab dari Allah. Yang harus menjadi tujuan dari doamu adalah untuk bermunajat kepada Allah yang memeliharamu dari-Nya.
Seorang arif adalah orang yang megetahui rahasia-rahasia karunia Allah di dalam berbagai macam bala' yang menimpanya sehari-hari, dan mengakui kesalahan-kesalahannya didalam lingkungan belas kasih Allah kepadanya. Sedikit amal dengan mengakui karunia Allah, lebih baik dari banyak amal dengan terus merasa kurang beramal. Andaikan Allah membuka nur (cahaya) seorang mu'min yang berbuat dosa, niscaya ini akan memenuhi antara langit dan bumi, maka bagaimanakah kiranya menjelaskan : "Andaikan Allah membuka hakikat kewalian seorang wali, niscaya ia akan disembah, sebab ia telah mengenangkan sifat-sifat Allah SWT.

Tareqat Saziliyah

Apakah tareqat itu?
Apakah saziliyah itu?
Siapa orang orang yang mengikutinya?